Terdakwa kasus pencabulanHerry Wirawan (36), sudah hampir dua bulan ditahan di Rutan Bandung, Kebonwaru. Siapa saja yang sudah membesuk pelaku yang merudapaksa 13 santriwati di Bandung itu? Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) Jawa Barat, Sudjonggo mengatakan, Herry belum pernah dikunjungi baik secara langsung maupun virtual.
Derita Herry Wirawan bertambah karena ia belum pernah dikirim barang atau makanan oleh saudaranya. "Sampai saat ini belum ada keluarga yang datang baik menitipkan sesuatu atau pun menghubungi lewat virtual," ujar Sudjonggo, di kantornya Jalan Jakarta, Kota Bandung, Rabu (15/12/2021). Menurut dia, saat ini aturannya Herry baru diperbolehkan mendapat kunjungan secara virtual saja.
Pihak keluarga dapat menghubungi nomor yang sudah disiapkan oleh pihak rutan. "Boleh, tapi sejauh ini belum ada. Sudah kami sosialisasikan ke masyarakat untuk rumah tahanan Bandung silakan kalau mau virtual," katanya. Meski ada di balik jeruji besi, Herry Wirawan masih bisa tersenyum.
Ekspresi Herry Wirawan ini tampak dalam foto terbaru yang dibagikan Humas Rutan Kebonwaru kepada awak media. Dalam foto terbaru Herry Wirawan, yang belakangan diketahui jumlah korban tindakan asusila berjumlah 13 orang, 8 di antaranya hamil dan sudah melahirkan, duduk di area Rutan Kebonwaru, mengenakan kemeja kotak kotak. Bagaimana respons para tahanan lain selama dua bulan Herry Wirawan, guru menghamili santri, berada di Rutan Kebon Waru?
Sejauh ini, Herry Wirawan disebut dalam keadaan sehat dan bisa berbaur dengan tahanan lain. Sempat beredar foto muka Herry Wirawan lebam seperti bekas dipukul, namun foto itu disebut tidak benar alias editan. Di Rutan Kebon Waru, Herry Wirawan menunggu jadwal sidang berikutnya terkait kasus pencabulan terhadap santriwati di pesantren yang dipimpinnya di Kota Bandung.
Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jabar Sudjonggo menyebut bahwa Herry dalam kondisi sehat. "Masih beraktivitas seperti biasa dengan teman teman yang lain, tidak terjadi satu hal yang berlebihan," ucap Sudjonggo di kantornya, Jalan Jakarta, Kota Bandung, Rabu (15/12/2021). Sejauh ini, gesekan dengan napi lain pun tak terjadi.
Ia pun berharap hal itu jangan sampai terjadi. "Alhamdulilah sampai saat ini tidak. Mudah mudahan tidak terjadi," ucapnya. Untuk mengantisipasi apabila terjadi gesekan di rumah tahanan, pihaknya sudah menyiapkan langkah seperti melaksanakan masa pengenalan lingkungan.
"Pastinya kita laksanakan itu dengan masa pengenalan lingkungan." "Akan kita lihat (apa) ada hal yang tidak diinginkan dari penghuni lainnya." "Tapi alhamdulillah sampai sejauh ini tidak ada," katanya.
Selama dua bulan lebih ditahan, kata Herry mengaku, ia belum pernah berkomunikasi ataupun menerima kunjungan dengan keluarga. "Sampai saat ini yang bersangkutan belum menerima kunjungan dari keluarganya, baik secara langsung, titipan barang makanan maupun secara virtual, jadi belum ada," ujarnya. Menurut Sudjonggo, memang saat ini belum dibuka kunjungan secara fisik di rutan, namun apabila berkomunikasi secara virtual masih diperbolehkan.
Meskipun begitu, pihak keluarga masih memperhatikan tahanan tersebut. "Yang jelas sampai saat ini belum ada keluarga yang datang baik menitipkan sesuatu ataupun menghubungi lewat virtual," katanya. Herry merudapaksa 13 santriwati di beberapa tempat, yakni di yayasan pesantren, hotel, dan apartemen.
Fakta persidangan pun menyebutkan bahwa terdakwa merudapaksa korban di gedung Yayasan KS, pesantren TM, pesantren MH, basecamp, Apartemen TS Bandung, Hotel A, Hotel PP, Hotel BB, Hotel N, dan Hotel R. Peristiwa itu berlangsung selama lima tahun, sejak tahun 2016 sampai 2021. Pelaku adalah guru bidang keagamaan sekaligus pimpinan yayasan itu.
Para korban diketahui ada yang telah melahirkan dan ada yang tengah mengandung. Terdakwa Herry Wirawan didakwa primer melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsider, Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Ancaman pidananya 15 tahun penjara. Tapi perlu digarisbawahi, di sini ada pemberatan (hukuman) karena dia (terdakwa HW) sebagai tenaga pendidik (guru atau ustaz)." "Ancaman hukumannya jadi 20 tahun," ujar Plt Aspidum Riyono. Sidang kasus rudapaksa yang dilakukan Herry Wirawan (36) terhadap 13 santriwati sempat ditunda beberapa pekan.
Rencananya, sidang bakal kembali digelar pada Selasa 21 Desember 2021, di Pengadilan Negeri Bandung, secara tertutup. "Nah, kebetulan penundaan dalam kondisi sekarang itu agak lama, nanti Selasa tanggal 21 Desember baru mulai lagi sidangnya. Penundaannya dari Hakim," ujar Kasipenkum Kejati Jabar, Dodi Gazali Emil saat dihubungi, Kamis (16/12/2021). "Sidangnya tertutup untuk melindungi identitasnya (korban) dan karena saksinya di bawah umur, terdakwanya mengikuti secara virtual dari Rutan Kebonwaru," tambahnya.
Saat ini, kata dia, persidangan sudah berjalan sebanyak tujuh kali. Sudah 21 saksi dihadirkan dalam sidang perkara keji tersebut. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Jabar, kata dia, sudah meminta kepada Majelis Hakim agar sidang dilakukan seminggu dua kali. "Mei itu penyidikan, persidangannya baru dimulai pertengahan November kalau tidak salah. Dari Penuntut Umum dan penasehat hukum juga mengusulkan kepada Hakim sebelumnya, sidang sudah berlangsung seminggu dua kali," katanya.
Kejati Jabar, kata dia, berkomitmen bakal berupaya mengawal kasus Herry Wirawan sampai tuntas. "Kita berharap ini prosesnya cepat selesai, kita ingin bekerja cepat dan tuntas," katanya. Orang tua korban rudapaksa Herry Wirawan di Tasikmalaya meminta hakim menghukum seberat beratnya pelaku.
Permintaan itu dilontarkan orang tua korban kepada Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto. "Orang tua korban hingga kini belum bisa menerima kenyataan bahwa anak perempuan kesayangannya telah menjadi korban Herry," kata Ato, Rabu (15/12/2021). Orang tua korban, kata Ato, masih tak percaya terhadap nasib malang yang menimpa putrinya yang jauh jauh disekolahkan ke boarding school milik Herry di Bandung.
Tekanan psikologis serta beban perasaan atas nasib yang menimpa anak perempuannya, kata Ato, membuat kedua orang tua korban juga syok. "Makanya mereka meminta hakim memberikan hukuman yang setimpal. Hukuman yang seberat beratnya sesuai perbuatan pelaku yang biadab," ujar Ato. Walau hingga kini korban masih belum bisa diajak berkomunikasi karena syok berat, namun pihak KPAID sudah melakukan komunikasi cukup intensif dengan orang tuanya.
"Sampai saat ini kami masih menunggu kabar dari pihak orang tua kapan kami bisa menemui korban," kata Ato. Menurut Ato, pihaknya berharap bisa segera menemui korban untuk memberikan pendampingan. Terutama melakukan trauma healing yang hingga saat ini belum dilaksanakan.
"Juga tentang masa depan pendidikan korban. Kami sudah berkoordinasi dengan instansi terkait di Pemkab Tasikmalaya," kata Ato.